Lupa Bersyukur? Ini Akibatnya Bagi Hidupmu

Memang benar adanya. Kita seringkali begitu sibuk melangkah ke depan, mengejar berbagai target, hingga terlupa untuk menoleh sejenak ke belakang. Padahal, sering kali apa yang kita anggap “biasa-biasa saja” hari ini adalah sesuatu yang dulunya pernah kita panjatkan dalam doa-doa terhangat.

Dulu, kita mungkin menuliskannya diam-diam di buku harian, membisikkannya di atas sajadah penuh harap, atau merenungkannya sebelum tidur dengan dada yang berdebar hangat karena keinginan kuat. Apa yang kini terasa datar dan biasa, dahulu pernah menjadi gemuruh besar dalam sanubari, sebuah impian yang begitu mendalam.

Cobalah luangkan waktu sejenak. Ambil napas dalam-dalam. Renungkanlah hidup Anda saat ini. Apakah segalanya sempurna? Tentu tidak. Namun, bukankah ada satu-dua hal yang dahulu begitu Anda dambakan dan kini sudah berada dalam genggaman Anda?

Mungkin itu adalah rumah kecil yang nyaman, pekerjaan yang memberikan kestabilan dan harga diri, atau barangkali sekadar ketenangan hati yang dulu terasa begitu sulit diraih.

Rasa tidak puas adalah fitrah manusia. Kita diciptakan dengan akal dan naluri untuk terus bergerak, berubah, dan tumbuh. Namun, jika perasaan ini tidak diimbangi dengan rasa syukur, kita berisiko kehilangan kemampuan untuk merasa cukup dan bahagia dengan apa yang ada.

Kita bisa terperangkap dalam ilusi bahwa apa yang kita miliki saat ini belum layak untuk disyukuri, hanya karena kita cenderung membandingkan diri dengan pencapaian orang lain yang tampak jauh lebih gemilang.

Fenomena ini selaras dengan apa yang diungkapkan Abraham Maslow dalam Hierarki Kebutuhannya (Hierarchy of Needs). Setelah kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, dan rasa aman terpenuhi, manusia secara naluriah akan menaiki tangga berikutnya: mencari cinta, membutuhkan validasi, dan akhirnya mencapai aktualisasi diri.

Namun, seringkali yang luput dari perhatian kita, seperti yang juga disiratkan oleh Maslow, adalah bahwa fondasi dari semua itu adalah stabilitas emosional dan spiritual. Ini mencakup rasa cukup, rasa dicintai, rasa diterima, dan yang terpenting, rasa syukur yang mendalam.

Apabila fondasi dasar ini goyah, maka pencapaian setinggi apa pun hanya akan terasa hampa dan rapuh. Inilah yang mungkin menjelaskan mengapa banyak individu yang terlihat sangat sukses di permukaan, namun menyimpan kerapuhan yang mendalam di dalam diri.

Kita terlalu sering mengejar banyak hal di masa depan, sampai lupa menikmati apa yang sudah ada dalam genggaman. Mengejar validasi, namun lupa mensyukuri ketulusan yang diterima. Mengejar kesempurnaan, tetapi abai berterima kasih pada setiap proses yang telah dilalui.

Viktor Frankl, melalui konsep Logoterapi-nya, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari pengejaran kesenangan semata, melainkan dari upaya menemukan makna hidup. Makna ini dapat hadir dari hal-hal yang paling sederhana sekalipun.

Contohnya, dari secangkir kopi hangat yang bisa Anda nikmati malam ini. Dari hembusan angin sore yang menyapa lembut lewat jendela. Dari tawa kecil yang Anda bagi bersama orang-orang terdekat. Atau bahkan dari diri Anda sendiri yang tetap teguh bangun dan melangkah, meskipun sempat merasa ingin menyerah.

Makna seringkali tidak hadir dengan berteriak; ia menyelinap pelan dan hanya dapat kita dengar ketika kita benar-benar berhenti dan diam sejenak. Mungkin ini sebabnya banyak dari kita merasa hampa, bukan karena kita kekurangan materi, melainkan karena kita belum memberi kesempatan pada diri untuk hening dan merenung.

Oleh karena itu, sedikitlah kurangi sifat tidak puas yang berlebihan itu. Bukan berarti kita harus pasrah dan berhenti untuk berkembang. Namun, karena rasa cukup itu sungguh menyelamatkan dan menenangkan batin.

Ia menjaga hati tetap hangat, menyadarkan bahwa hidup bukanlah perlombaan siapa yang tiba lebih dulu, melainkan tentang siapa yang mampu berhenti sejenak, menatap langit, dan tersenyum tulus karena menyadari, “Aku sudah melangkah sejauh ini.”

Dan jika Anda mencari pegangan yang lebih kuat lagi, tengoklah firman Tuhan yang Maha Esa:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Perhatikanlah, bahkan dalam kitab suci Al-Qur’an, Tuhan tidak menjanjikan tambahan nikmat kepada mereka yang paling keras berjuang atau paling cerdas bekerja, melainkan kepada mereka yang senantiasa bersyukur.

Sebab, syukur bukanlah bentuk kepasrahan atau stagnasi. Ia adalah wujud tertinggi dari pengakuan bahwa segala yang ada ini, dalam bentuk apa pun, adalah anugerah. Dan setiap anugerah, sekecil apa pun, layak untuk dirayakan dan disyukuri.

Jangan pernah takut untuk bermimpi. Impian itu esensial. Kita membutuhkan arah, tujuan, dan alasan kuat untuk terus bangun setiap pagi. Namun, jangan sampai Anda terlalu sibuk mempersiapkan hari esok hingga melupakan untuk merayakan hari ini. Karena hari ini, dengan segala kekurangan dan tantangannya, adalah bagian dari doa-doa Anda yang kini sedang dijawab, perlahan-lahan.

Jika hari ini terasa begitu berat, tak mengapa. Yang terpenting adalah Anda tetap ada. Tetap hidup. Tetap berjuang. Mungkin bukan tentang seberapa besar pencapaian yang Anda raih, melainkan tentang bagaimana Anda memperlakukan diri sendiri di setiap prosesnya.

Karena, yang sejati menang bukanlah siapa yang memiliki lebih banyak, melainkan siapa yang memiliki hati yang paling lapang dan penuh syukur.

Referensi

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press. (Original work published 1946)
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. (2002). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Kementerian Agama Republik Indonesia.

Pena Narr, Belajar Mencoret…