Pada usia remaja, tepatnya ketika menginjak 17 tahun, sebuah kecemasan mendalam selalu menghantui pikiran saya: ketakutan tidak akan pernah menemukan tujuan hidup yang jelas. Waktu terus bergulir tanpa henti, namun saya merasa berjalan di tempat, terperangkap dalam ketidakpastian. Kontras dengan teman-teman sebaya yang telah memiliki arah pasti – ada yang berambisi kuliah, merintis karier, atau mendalami hobi – saya justru merasa hampa, tanpa kompas. Perbandingan ini memicu rasa takut akan keterlenaan dan ketertinggalan diri.
Rasa cemas itu berlipat ganda: “Apakah saya akan tertinggal jauh jika tidak kunjung memiliki tujuan hidup?” Pertanyaan inilah yang tak henti membayangi, menggerogoti, dan menghantui setiap langkah saya. Tekanan mental ini bahkan seringkali menyeret saya pada pengambilan keputusan yang keliru, justru semakin memperkeruh jalan dan menjauhkan saya dari makna tujuan hidup yang sesungguhnya. Berulang kali saya berupaya keras untuk meraih kepastian itu, namun yang didapat hanyalah kegagalan demi kegagalan. Sebuah pertanyaan pahit pun muncul, “Apakah nasib saya semalang ini, sampai-sampai menemukan arah hidup saja terasa mustahil?”
Meskipun demikian, saya tidak pernah menyerah. Berbagai macam aktivitas dan bidang telah saya coba, berharap salah satunya akan menjadi kunci pembuka tujuan hidup saya. Namun, hasil yang sama selalu menyambut: hampa. Kegagalan demi kegagalan ini datang silih berganti, menciptakan siklus yang tak terputus, hingga akhirnya saya pun terbiasa dengan kehadiran ‘teman’ setia ini.
Seiring waktu berjalan – dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, hingga tahun demi tahun – titik balik itu akhirnya tiba. Saat saya menginjak usia 20 tahun, sebuah pergeseran fundamental terjadi dalam pola pikir saya. Saya mulai mempertanyakan kembali, “Apa sebenarnya definisi dari ‘tujuan yang pasti’ itu?” Di momen pencerahan itulah saya menyadari sebuah kebenaran universal: manusia, tanpa memandang usia, akan selalu dihadapkan pada kebuntuan hidup. Namun, mengenai tujuan hidup, saya mengerti bahwa itu bukanlah sebuah destinasi tunggal yang harus dicari secara paksa, melainkan sebuah aspek yang senantiasa berproses. Ia akan terbentuk secara perlahan dan bertahap, layaknya sebuah perjalanan yang tak terburu-buru, hingga menemukan bentuknya di waktu yang tepat.
Maka, akan sia-sia belaka jika kita terus-menerus memaksakan diri untuk “menggali” dan mencari makna tersebut sebelum waktunya. Justru, risiko yang timbul adalah terjebak dalam pusaran pikiran rumit yang hanya akan menjatuhkan diri lebih dalam. Dari situlah saya belajar: alih-alih mengejar definisi yang kaku, lebih baik fokus untuk menjalani kehidupan saat ini sepenuhnya. Sebab, tujuan hidup yang sesungguhnya seringkali muncul dan terungkap dengan sendirinya, seiring langkah yang kita ambil dan pengalaman yang kita lewati.